Friends

Statistik

Flag Counter

Memahami Sikap Politik PKS (1)

| Sabtu, 07 April 2012
Untuk kesekian kalinya, sikap politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuat banyak orang bertanya-tanya. Sebagai partai yang tergabung dalam koalisi yang mendukung pemerintahan SBY-Boediono pada masa jabatan 2009-2014, sikap PKS yang secara tegas berseberangan dengan pemerintah dalam rencana menaikkan harga BBM dipandang ganjil oleh sebagian pihak, terutama para anggota koalisinya sendiri.
Dalam koalisi, PKS memang memiliki tempat yang ‘unik’. Di satu sisi, PKS adalah mitra SBY yang telah setia mendukung sejak awal pencalonan. Sebelum SBY menentukan calon wakil presiden, PKS telah menyatakan dukungannya. Ketika itu, PKS bersikap proaktif dengan mengirimkan nama para kader pilihannya untuk dipertimbangkan sebagai wakil presiden. Pengiriman nama itu sendiri kurang tepat jika disebut sebagai lobi politik PKS untuk mendapatkan ‘bagian lebih besar’ dalam pemerintahan, sebab yang meminta usulan nama-nama tersebut adalah SBY sendiri, sebagaimana SBY juga meminta pertimbangan yang sama dari berbagai pihak. Ketika tiba-tiba SBY menentukan pilihannya sendiri, PKS pun tidak mempermasalahkannya, melainkan hanya menyayangkan mengapa SBY membuat keputusan tanpa berbicara dengan mitra koalisinya yang lain.
Dibanding Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), perolehan suara PKS pada Pemilu 2009 lebih signifikan. Oleh karena itu, ketika koalisi pemerintahan SBY-Boediono baru dibentuk, sebenarya PKS adalah mitra yang paling penting bagi Partai Demokrat (PD). Barulah setelah koalisi bergulir cukup lama, Partai Golongan Karya (Golkar) bergabung dan dibentuklah Sekretariat Gabungan (Setgab) sebagai forum untuk berdiskusi dan menampung aspirasi para mitra koalisi.
Golkar, sebagai ‘juara kedua’ dalam Pemilu 2009 yang lalu, membawa serta jumlah dukungan yang sangat besar bagi koalisi. Di satu sisi, keberadaan Golkar dianggap memperkuat koalisi pemerintahan. Akan tetapi, banyak pengamat yang menilai bahwa PD telah mengambil risiko dengan menerima Golkar ke dalam koalisi. Sebab, Golkar dianggap memiliki kekuatan suara dan kemampuan yang cukup untuk mengimbangi dominasi PD dalam koalisi. Belakangan terbukti bahwa Golkar pun tidak selalu sejalan dengan PD, meski tidak ‘senakal’ PKS.
Pukulan telak sebelumnya telah dialami oleh PD dalam kasus yang dikenal sebagai Sidang Paripurna Century. Ketika itu, Golkar, PKS dan PPP mengambil sikap berseberangan, sementara PD hanya ditemani oleh PAN dan PKB. Meski kasus Century hingga kini dianggap minim (untuk tidak mengatakan tidak ada) tindak lanjutnya, namun insiden ini menunjukkan bahwa Golkar memang memiliki kesiapan dan kemampuan untuk mengambil alih kemudi dalam koalisi dan PKS nampaknya tidak merasa sungkan sedikit pun untuk mengambil sikap berlawanan dengan PD.
Pengalaman pahit PD kembali terulang pada Sidang Paripurna yang membahas tentang rencana kenaikan harga BBM yang mulai digelar pada hari Jum’at, 30 Maret 2012. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM terhambat oleh aksi PKS yang menyampaikan penolakannya secara tegas. Beberapa hari sebelum sidang paripurna, aroma penolakan sebenarnya telah tercium. Dalam pidato politiknya ketika membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Medan, 27 Maret 2012 yang lalu, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq telah menyampaikan bahwa apabila PKS harus memilih satu di antara dua pilihan, maka tidak mungkin PKS akan meninggalkan rakyat yang telah membesarkannya.
Setelah itu, usulan-usulan di tubuh PD yang menginginkan dikeluarkannya PKS dari koalisi semakin kencang terdengar. Beberapa tokoh bahkan sudah berani mengatakan bahwa PKS memang sudah dikeluarkan, meski pemberitahuan resminya belum ada. Para analis politik memahami fenomena ini sebagai sikap frustasi koalisi, terutama PD sendiri, yang merasa selalu tidak mendapatkan dukungan PKS ‘di saat-saat genting’. (bersambung)
oleh Akmal Sjafril
Pria lulusan S1 Teknik Sipil ITB ini dikenal luas sebagai blogger dan peserta Program Kaderisasi Ulama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Setelah bukunya yang berjudul Islam Liberal 101 meledak di pasaran, ia kini aktif menjadi narasumber untuk masalah-masalah pemikiran Islam di berbagai media.

0 comments:

Posting Komentar