Friends

Statistik

Flag Counter

Makna Koalisi bagi PKS (2)

| Sabtu, 07 April 2012
Polemik yang terjadi sebenarnya timbul karena perbedaan cara memaknai koalisi. Umumnya, koalisi dipahami secara simplistis sebagai penyatuan kekuatan untuk memperoleh dukungan politis yang mampu mendominasi kelompok-kelompok lain. Bagi sebagian pihak lainnya, definisi ini masih kurang, karena tidak menjelaskan batasan-batasan apa saja yang mengikat dalam koalisi tersebut.
PKS memang memiliki perbedaan sikap yang jelas dengan partai-partai koalisi lainnya. PAN, PPP, PKB dan Golkar secara resmi berkoalisi dengan PD bisa dibilang hanya dengan bermodalkan pernyataan belaka. PKS, sebaliknya, sejak awal telah berdiskusi rapat dengan SBY (bukan dengan PD, ini perlu menjadi catatan tersendiri) dan kedua belah pihak telah memiliki kontrak politik yang jelas. Kontrak itulah yang menjadi batasan dari koalisi yang digalang oleh PKS dan SBY. Di luar bahasan yang tercantum dalam kontrak tersebut, maka tidak ada perjanjian untuk berkoalisi. Dapat juga dikatakan bahwa jika ada klausul dalam kontrak tersebut yang dilanggar, maka perjanjian koalisi pun dengan sendirinya batal.
Keberadaan kontrak politik yang menjadi landasan dari koalisi ini menunjukkan bahwa PKS tidak menghendaki ‘kerancuan jati diri partai’ dengan adanya koalisi tersebut. Artinya, koalisi yang memiliki batasan-batasan yang jelas justru menunjukkan bahwa PKS tidak merasa perlu untuk selamanya mengikuti SBY atau siapa pun, sebab koalisi tidak dibangun dalam rangka subordinasi atau kesamaan ideologi, melainkan kesamaan kerangka kerja. Dengan adanya kontrak politik, PKS telah menyatakan siap berkoalisi dengan siapa pun dalam pekerjaan-pekerjaan yang disepakati bersama. Bagi kader dan jajaran pengurus PKS, logika ini sudah sangat dipahami. Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro PKS, dalam bukunya Menghilangkan Trauma Persepsi menulis:
“kita mengembangkan koalisi dengan multipartai di seluruh Indonesia, komitmennya adalah kerja. Kerja membangun daerah, mensejahterakan daerah, memberantas KKN. Kerja-kerja itu yang jadi komitmen dan jadi titik temu. Atau dalam kata lainnya kalimatun sawaa’ bainanaa wa bainakum“.
‘Hujan kritik’ yang diterima oleh PKS dari rekan-rekan koalisinya, terutama dari para pengurus PD, justru secara gamblang memperlihatkan bagaimana masing-masing memaknai koalisi itu sendiri. Dalam pandangan PD, sebagai ‘pemenang Pemilu 2009’, rekan-rekan koalisinya haruslah mendukung PD dan SBY tanpa syarat, dan hal itu adalah bukti komitmen dalam koalisi. Adapun rekan-rekan koalisi PD, yang bergabung dalam koalisi tanpa kontrak politik yang jelas sebelumnya, nampaknya tidak berkeberatan menjadi pengikut saja, meski dengan resiko ‘kehilangan kepribadian’. Sedikit pengecualian bisa diberikan kepada Golkar yang jumlah suaranya cukup signifikan dan adakalanya juga ‘membandel’ di dalam koalisi.
Lebih lanjut, kita perlu menganalisis perilaku ‘bandel’ PKS secara obyektif. Apakah pilihan PKS pada kasus Century dan harga BBM tempo hari adalah indikasi lemahnya komitmen PKS dalam koalisi? Untuk menjawab hal ini, kita perlu mengumpulkan beberapa fakta terlebih dahulu.
Paling tidak ada dua kasus yang dapat kita jadikan ukuran. Pertama, dalam kasus pencopotan Suharna Surapranata dari jabatan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) pada akhir tahun 2011 silam. Sebenarnya, PKS dapat mengajukan protes minimal karena dua hal, yaitu karena posisi Menristek merupakan bagian dari kesepakatan awal dengan SBY, dan lebih pentingnya lagi karena Suharna sebenarnya tidak dianggap sebagai salah satu menteri bermasalah oleh para analis. Suharna dapat diperbandingkan dengan menteri-menteri yang dianggap bermasalah pada saat itu, antara lain adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar yang disorot karena setumpuk masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan juga disebut-sebut terlibat dalam dugaan korupsi di Kemenakertrans, Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Andi Mallarangeng yang dikritisi karena persiapan SEA GAMES yang dianggap kurang matang dan juga disebut-sebut terlibat dalam dugaan korupsi di kementriannya, atau Menteri Perhubungan (Menhub) Freddy Numbery yang dianggap bertanggung jawab atas banyaknya kecelakaan transportasi. Dari ketiga nama ini, hanya Freddy Numbery yang akhirnya dicopot dari jabatannya.
Sikap legowo PKS menunjukkan bahwa PKS memahami sepenuhnya bahwa posisi menteri adalah murni hak prerogatif Presiden. Dengan kondisi berkurangnya jumlah menteri sekalipun, PKS tetap menyatakan komitmennya untuk bekerja bersama-sama di dalam koalisi untuk mewujudkan good governance. Sebaliknya, PKS justru semakin menggaungkan slogan barunya, “Bekerja untuk Indonesia”.
Kasus kedua yang seringkali luput dari perhatian publik adalah pada peristiwa sebelum Sidang Paripurna 30 Maret 2012, yaitu ketika PKS mengirim surat resmi kepada SBY yang berisikan usulan-usulan yang dapat dilakukan untuk melindungi Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) tanpa harus menaikkan harga BBM. Akan tetapi, semua skenario yang ditawarkan oleh PKS ditolak tanpa ada pembahasan sama sekali.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa PKS sesungguhnya memiliki komitmen yang kuat dalam koalisi mendukung pemerintahan yang dipimpin oleh SBY, dan hal itu ditunjukkannya dengan menawarkan solusi yang telah dibuat oleh tim ahlinya. Amat disayangkan, Presiden tidak memberikan respon untuk setidaknya menyatakan alasan penolakannya terhadap solusi-solusi yang telah ditawarkan PKS. Dapat disimpulkan juga bahwa komitmen PKS sesungguhnya memang kepada butir-butir yang dijelaskan dalam kontrak politik, yang dapat disederhanakan sebagai kesepakatan membangun good governance, dan bukan kepada figur SBY semata. Sebagai komitmen untuk membangun pemerintahan yang baik itulah maka PKS merasa berkewajiban untuk menawarkan solusi pada SBY.
Selanjutnya, karena SBY tidak pernah merespon usulan PKS, maka PKS pun tidak menerima alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah pendiriannya. Alhasil, sikap PKS dalam Sidang Paripurna 30 Maret 2012 tetap dalam posisi semula, yaitu menolak kenaikan harga BBM. Dalam hal ini, SBY seharusnya memahami komitmen politik PKS terhadap kontrak politik yang dahulu ditandatanganinya. Demi mewujudkangood governance, PKS menyurati Presiden untuk menawarkan solusi, namun demi tujuan yang sama pula PKS terpaksa berseberangan dengan pemerintah dan rekan-rekan koalisinya.
Dalam sebuah orasi politiknya yang disampaikan di Bogor pada bulan Oktober 2011 yang lalu, Sekjen PKS, Anis Matta, telah menyatakan optimismenya akan masa depan PKS. Salah satu alasannya, menurut penuturannya, karena PKS adalah partai yang paling siap menghadapi kultur politik baru yang menghendaki adanya dialog, bukan sekedar instruksi. Kerja sama antar unsur-unsur penting di negeri ini harus dibangun dalam kerangka dialog, termasuk juga dalam hal koalisi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa PKS sejatinya memang menghendaki koalisi yang ‘bermartabat’, yaitu koalisi yang tidak menghilangkan kepribadian partai anggota koalisi hanya karena jumlah suaranya lebih sedikit.
Pandangan miring lainnya yang beredar seputar keberadaan PKS dalam koalisi menyatakan bahwa PKS telah menjadi ‘partai amfibi’, karena menjadi anggota koalisi namun rajin mengkritisi pemerintah. Sebagian lagi memandang PKS sebagai partai yang hanya mencari keuntungan, sebab tidak mau menarik menteri-menterinya dari kabinet atau menarik diri dari koalisi, sedangkan sikapnya seringkali berlawanan dengan pemerintah. Opini-opini semacam ini tentu sah belaka, namun agaknya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab, sebagaimana sikap PD mencerminkan pandangan PD terhadap koalisi, opini ini pun mencerminkan cara berpikir pemiliknya. Dengan mengatakan bahwa PKS hanya mencari keuntungan dengan tidak menarik menteri-menterinya, itu artinya sang pemilik opini justru berpikir bahwa keberadaan menteri-menteri dari parpol hanyalah sebagai ‘mesin uang’ atau sarana untuk mengeruk kepentingan parpol belaka. Jika PKS memiliki pandangan yang sama, tentu konflik yang cukup tajam antara SBY dan PKS sudah terjadi sejak Suharna dicopot dari jabatannya. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kemungkinan besar ada parpol-parpol yang menganggap menteri sebagai ‘mesin uang’, namun cara berpikir yang demikian sudah semestinya dihentikan.
oleh Akmal Sjafril
Pria lulusan S1 Teknik Sipil ITB ini dikenal luas sebagai blogger dan peserta Program Kaderisasi Ulama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Setelah bukunya yang berjudul Islam Liberal 101 meledak di pasaran, ia kini aktif menjadi narasumber untuk masalah-masalah pemikiran Islam di berbagai media.

0 comments:

Posting Komentar