Menyimak twitwar mengenai data korupsi politisi, rasanya akan sangat mudah
membawa kita pada situasi perdebatan konyol soal dukung mendukung partai ini
itu. Menarik sebetulnya jika kita mencoba keluar dari "kemelut"
seperti itu dan memandangnya sebagai seorang akademisi dengan mencoba membuat
analisis yang seobyektif mungkin.
Data mengenai politisi yang telah dipidana korupsi (perkaranya sudah
diputus oleh hakim tipikor) baik di pusat maupun di daerah (DPR, DPRD Propinsi,
DPRD Kab/Kota) sejauh ini yang tersedia
dalah sebagaimana tersaji berikut ini (data sampai akhir tahun 2013) :
sumber
: http://chirpstory.com/li/184257 (pada tautan akan dijumpai lampiran berupa
daftar nama politisi dimaksud)
Memang ada data lain yang dirilis Sekretaris Kabinet, DR Dipo Alam per
September 2012 yang diambil dari data izin pemeriksaan yang dikeluarkan oleh
Presiden untuk politisi
DPR. Data tersebut memiliki tiga kelemahan. Pertama,
mereka yang diperiksa belum tentu dipidana. Kedua, tidak ada lampiran
nama-namanya. Ketiga, data tersebut hanya menyangkut politisi DPR saja, karena
ijin pemeriksaan anggota DPRD Propinsi dikeluarkan oleh Mendagri atau anggota
DPRD Kab/Kota oleh Gubernur.
Data dimaksud adalah :
1.
Partai Golkar 64 orang (36 %)
2.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 32 orang (18 %)
3.
Partai Demokrat 20 orang (11 %)
4.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 17 orang (9,65 %)
5.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 9 orang (5 %)
6.
Partai Amanat Nasional (PAN) 7 orang (3,9 %)
7.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 4 orang (2,27 %)
8.
Partai Bulan Bintang (PBB) 2 orang (1,14 %)
sumber : http://politik.kompasiana.com/2012/09/29/inilah-partai-terkorup-menurut-seskab-dipo-alam-497273.html
Mengamati kedua data, sebetulnya kita bisa menarik kesimpulan awal adanya
kemiripan pola, meski urutannya tidak persis sama. Dengan berbagai alasan
tersebut di atas maka untuk selanjutnya kita akan mengelaborasi data pertama.
Langkah selanjutnya yang bisa kita lakukan untuk analisis adalah membagi
jumlah politisi korup dari partai tertentu dengan perolehan suara pada Pemilu
2009. Ini diperlukan untuk menghilangkan bias perbedaan jumlah populasi suara
per partai. Partai mayoritas tentu akan mengatakan begini : jelas saja koruptor
di partai kami lebih banyak kan kami partai besar (yang politisinya lebih banyak).
Oke, mari kita bagi jumlah politisi dengan jumlah suara dan darinya kita akan
mendapatkan semacam "rasio korupsi"
atau "indeks korupsi" yang
sudah terurut dari besar ke kecil sebagai berikut :
|
Indeks Korupsi (politisi korup/1 juta suara pileg 2009) |
Indeks korupsi ini bisa diartikan sebagai "jumlah koruptor per satu
juta suara", yang bisa dibaca juga sebagai peluang
"dihasilkannya" koruptor dari partai tertentu jika jumlah indeks
dibuat jadi 100%.
|
Peluang Adanya Politisi Korup di Setiap Parpol |
Menarik jika kita melihat data di atas dengan memilah dua jenis partai :
partai-partai yang sudah ada semenjak Orde Baru (partai Orba : Partai Golkar,
PDIP, dan PPP) dan partai-partai yang berdiri pasca Reformasi (partai
Reformasi). Terlihat bahwa Partai Orba menduduki posisi-posisi puncak, dengan
pengecualian PAN. Interpretasi saya barangkali begini : Politisi dari partai-partai Orba sepertinya belum bertobat dari korupsi,
bahkan kemudian mengajak dan mengajari "adik-adiknya" dari partai
Reformasi untuk turut korupsi. Ingat, korupsi dalam banyak moda harus
dilakukan secara "berjamaah" supaya lebih aman. Juga bisa dilihat
bahwa PAN dalam hal ini adalah "adik yang bisa belajar dengan cepat dari
kakak-kakaknya".
ANALISIS KORELASI
Bagi yang pernah mengikuti kuliah Dasar-dasar Statistik (Statistics 101)
tentu sudah mengenal analisis korelasi. Kita bisa melangkah lebih jauh dengan
data di atas untuk melihat korelasi (keterkaitan/ hubungan) antara data
jumlah suara pada Pileg 2009 dengan jumlah koruptor di partai
dimaksud.
Menarik bahwa hasil analisis korelasi Spearman terhadap kedua variabel
menunjukkan hubungan yang kuat secara signifikan (Spearman's ρ = 0,756, p-value
= 0,007; lihat lampiran untuk rincian perhitungan). Fakta ini
mengejutkan karena jika kita benar-benar anti korupsi maka seharusnya
diindikasikan dengan nilai korelasi yang negatif atau paling tidak mendekati
nol. Ini tandanya positif dan angkanya mendekati 1.
Kalau kita baca secara hati-hati, ini bisa diartikan bahwa : suara rakyat yang makin besar terhadap
suatu parpol, 76% nya akan berhubungan dengan makin banyaknya koruptor di
partai itu ! Waduh,
ini kok mengerikan ya.
Kalau kita memakai bagan kira-kira beginilah ilustrasi prosesnya :
Apakah itu berarti bahwa : rakyat
Indonesia sebenarnya mendukung politisi (dan partai) yang korup?
Hemat saya, bisa diasosiasikan seperti itu kalau prosesnya kita balik.
Jadi, rakyat harus diberitahu/diedukasi terlebih dahulu profil korupsi setiap
parpol. Jika kemudian rakyat tetap memilih parpol yang korup, maka sesungguhnya
korupsi politisi memang didukung oleh rakyat.
Jadi, urutan prosesnya sepertinya harus seperti ini
1) Sebelum April 2014 : beritahu rakyat
soal grafik di bawah ini
2) Tanggal 9 April 2014 : Pemilu Legislatif
3) Hasil Pileg : Jika ranking indeks korupsi berkorelasi positif dengan
ranking perolehan suara, mak a
sesungguhnya rakyat Indonesia mendukung politisi dan partai yang korup
Kesimpulannya : tanggal 9 April 2014
kita akan melakukan sebuah eksperimen raksasa untuk menguji apakah sebetulnya rakyat
Indonesia mendukung korupsi atau tidak.
Saya sendiri tidak sabar untuk mengetahui jawabannya.
Salam Anti Korupsi
RAHMAT MULYANA
(pengajar manajemen keuangan dan metodologi penelitian
keuangan, profesional di bidang keuangan, mantan direktur keuangan sebuah BUMN,
mahasiswa S3 di bidang manajemen keuangan)
DISCLAIMER
1 1. Garbage in garbage out. Adanya data yang lebih
baik tentunya akan membuat analisis ini jadi lebih baik
2. Mungkin akan ada yang mengkritik dengan mengatakan "yang penting kan
berapa jumlah yang dikorup bukan jumlah politisinya". Silakan saja
dianalisis oleh yang bersangkutan dan sampaikan alternatif analisisnya. Mencoba
meranking berdasarkan jumlah uang yang dikorup bisa jadi bermasalah juga, data
siapa yang mau dipakai untuk menghitung kerugian dan adakah datanya?
3. Meski sangat bisa diinterpretasikan secara politis, maksud kajian singkat
ini sebetulnya lebih diniatkan untuk pencegahan korupsi. Dan untuk soal motif
dan interpretasi ini, terus terang saya belum menemukan alat ujinya
4. Saran, masukan, kritik, sangat diapresiasi.
5. Saya harus mohon maaf kepada partai peserta pemilu yang baru di tahun 2014. Kita lihat pada pemilu berikutnya. Terima kasih
LAMPIRAN DAN RUJUKAN
LAMPIRAN HASIL PERHITUNGAN DATA
RUJUKAN
1) https://www.dropbox.com/s/ui9r4ct4gw7myu8/correlation.pdf
Spearman rank correlation is used
when you have two measurement variables and one"hidden" nominal
variable. The nominal variable groups the measurements into pairs; if you've
measured height and weight of a bunch of people, "individual name" is
a nominal variable. You want to see whether the two measurement variables
covary; whether, as one variable increases, the other variable tends to
increase or decrease. It is the non-parametric alternative to correlation, and it is used when the data do
not meet the assumptions about normality, homoscedasticity and linearity. Spearman rank correlation is also used when one or
both of the variables consists of ranks.
You will rarely have enough data in your own data set to test the normality
and homoscedasticity assumptions of regression and correlation; your decision
about whether to do linear regression and correlation or Spearman rank
correlation will usually depend on your prior knowledge of whether the
variables are likely to meet the assumptions.
Null hypothesis
The null hypothesis is that the ranks of one variable do not covary with
the ranks of the other variable; in other words, as the ranks of one variable
increase, the ranks of the other variable are not more likely to increase (or
decrease).
The Pearson correlation coefficient is the most widely used. It measures
the strength of the linear relationship between normally distributed variables.
When the variables are not normally distributed or the relationship between the
variables is not linear, it may be more appropriate to use the Spearman rank
correlation method.
ANOTHER STUDY PLEASE CHECK : http://en.wikipedia.org/wiki/Spearman's_rank_correlation_coefficient