Friends

Statistik

Flag Counter

Jebakan Presiden (Sial) Threshold

| Kamis, 01 Agustus 2013
investasi-bodong-jebakan

Bambang Arianto, MA.
***

Perdebatan konyol mewarnai pembahasan perubahan UU Pilpres (UU No 42 Tahun 2008). Parpol bukannya sibuk mencari solusi minimnya kepemimpinan nasional dalam konteks yang lebih krusial, namun yang dipertontonkan justru aksi saling jegal antar parpol yang berakibat calon Presiden alternatif pilihan rakyat akan bernasib sial.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden di badan Legislasi DPR yang telah berlangsung selama enam masa sidang kembali menemui jalan buntu. Lima fraksi besar di DPR yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PAN dan Fraksi PKB menyatakan UU tidak perlu ada perubahan, sedang empat fraksi lain yakni Fraksi PKS, Fraksi PPP, Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi Partai Hanura menginginkan perubahan dengan harapan akan dapat meloloskan ketua umumnya. Keinginan parpol besar untuk mempertahankan ambang batas presidential threshold sebagai syarat pencalonan Presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional dapat dimaklumi sebagai upaya memperkuat bargaining position Presiden terpilih. Namun bila akhirnya opsi ini dipilih kembali dapat dibayangkan hanya akan ada empat figur capres minus figur alternatif representasi publik.

Tarik Ulur Kepentingan

Dalam sejarah politik elektoral di Indonesia kombinasi sistem presidensial dan multipartai kerap kali menyandera Presiden terpilih, apalagi di tambah kuatnya sikap elit parpol yang sangat pragmatis dan bermuka dua menjadikan kombinasi ini sering menghasilkan deadlock antara eksekutif dan legislatif. Sistem presidensial setengah hati yang diterapkan di Indonesia diakui sangat rawan terhadap legislative heavy. Kombinasi rezim presidensial dan multipartai seperti terjadi di Indonesia, menurut Mainwaring adalah difficult combination. Hal ini disebabkan tidak adanya kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen sehingga sering melahirkan “Presiden Minoritas”. Seperti dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004) lalu pemerintahan Presiden SBY (Muhtadi 2012). Hal inilah disebabkan terjadinya polarisasi ideologi dengan dibuktikan banyaknya campur tangan DPR terhadap jalannya pemerintahan. Retorika ini menjadikan acuan beberapa parpol besar untuk bersikeras mempertahankan UU Pilpres No. 42 Tahun 2008. Lagi pula parpol besar tidak rela bila figur yang berasal dari parpol yang tidak memenuhi UU Pilpres dapat melenggang dengan mudah, sebab bila hal ini dibiarkan bisa jadi figur ini akan menjadi batu sandungan parpol besar.

Namun dalam sejarah politik elektoral di Indonesia dukungan besar diparlemen tidak menjamin sistem presidensial akan dapat berjalan stabil, buktinya pemerintahan SBY yang didukung hampir 70 persen tetap saja sering di jahili oleh DPR. Hal inilah yang menjadikan parpol menengah ngotot menurunkan ambang batas presidential threshold sebagai jalan memuluskan pilihan figur yang lebih beragam dan dapat menarik figur yang tidak memiliki kendaraan parpol seperti Dahlan Iskan dan mahfud MD untuk maju dalam audisi calon Presiden versi Indonesia. Yang disayangkan ditengah-tengah perdebatan publik mendambakan figur alternatif, masih banyak parpol yang mengedepankan ego politik dengan memaksakan diri agar calonnya dapat melanjutkan estafet kepemimpinan nasional seperti Gerindra dengan Prabowo dan Hanura yang baru saja mendeklarasikan duet Wiranto – Hari Tanoesoedibjo, padahal akan lebih baik bila berfikir realistis dengan berkoalisi.

Kekhawatiran parpol besar bila ambang batas presidential threshold diturunkan dapat disebabkan figur parpol menengah saat ini tengah menunjukkan tren positif dimata pemilih, malah sebagian figur tersebut telah mampu memikat perhatian publik. Bila semua parpol peserta pemilu punya hak sama untuk dapat mengusung capres-cawapres hal ini akan menjadi malapetaka bagi parpol besar sebab semakin meningkatnya preferensi politik tidak ada jaminan parpol besar akan dapat memenangi pemilihan Presiden dengan mulus.

Preferensi politik publik saat ini mengalami degradasi dari ideologi dan institusi (partai politik) ketataran figur. Post-orde baru siapa pun yang populer akan menjadi tokoh pilihan rakyat. Ini artinya yang terpenting adalah figur bukan ideologi atau pun partainya. Fenonema menguatnya preferensi politik publik pada figur tersebut dalam perspektif budaya politik mulai dirasakan setelah munculnya Jokowi sebagai pemenang Jakarta satu.

Parpol besar pun mulai mengerenyitkan dahi dengan ulah beberapa capres yang berasal dari parpol menengah seperti sosok Prabowo yang berani tampil dengan gaya seperti tokoh progresif sehingga menarik perhatian publik. Juga ada Wiranto yang sedang diorbitkan oleh efek “Harie Tanoe” lewat jejaring media. Tidak menutup kemungkinan figur-figur ini popularitasnya akan melebihi Megawati bahkan Aburizal Bakrie (ARB) sekalipun. Kengototan PDI Perjuangan untuk tetap menolak perubahan UU Pilpres patut dicurigai sebagai pertanda akan kembalinya Megawati dalam pertarungan presiden 2014. Sosok Jokowi yang telah mampu menasionalisasi lokal dan sekaligus lokalisasi nasional akan dijadikan energi potensial Megawati guna memberikan insentif elektoral bagi PDI Perjuangan.

Epilog

Dalam survey Kompas pemilih menilai sosok pemimpin yang berkubang dengan pragmatisme lama tampaknya akan semakin ditinggalkan. Mayoritas publik (98,3 persen) menginginkan karakter pemimpin masa kini yang sering turun ke lapangan untuk mengetahui substansi persoalan yang konkret. Kepemimpinan yang sama sekali berbeda dengan arus utama menyeruak ke ranah publik. Ini artinya tidak ada jaminan parpol besar yang mampu mengajukan capres bisa didukung sepenuhnya oleh rakyat bila nantinya figur yang diajukan belum juga menunjukkan perubahan yang berarti.

Akhirnya jebakan presidential threshold ini jelas akan membuat kembalinya figur berwajah suram dan tentunya membuat capres alternatif bernasib sial. Sangat disayangkan bila figur yang memiliki integritas dan telah teruji mampu memberikan perubahan signifikan bagi perkembangan demokrasi harus tersingkir karena tidak memiliki kendaraan parpol apalagi kecukupan modal suara dalam melewati jebakan presidensial threshold. Bila akhirnya UU Pilpres tidak memberikan celah sedikit pun bagi keterpilihan figur potensial artinya bangsa ini telah mengalami kemunduran dan tidak normal.

*)|(dakwatuna[dot]com

0 comments:

Posting Komentar